"Assalamualaikum…"
Telinga dengar, tapi jiwa udah mode airplane. Biar ibu aja yang jadi satpam rumah.
Tiba-tiba ibu muncul seperti alarm manusia.
"Bangun! Ada Fian di depan!"
"Hadehhh…"
Tolong, baru juga rebahan 2 detik, udah ada drama datang!
Dengan langkah penuh penderitaan, aku ke ruang tamu. Di sana Fian duduk seperti orang habis ditilang satpam sekolah.
"Ada apa, bro?"
"Aku minta tolong… Dian mau ngelabrak aku!"
Hah? Plot twist!
Dian itu sahabatku, tapi dia juga punya hobi unik: jodoh-jodohin orang. Nama keren dia: Sufi Cinta. Tapi seringnya hasil jodohan dia malah jadi sinetron dua season.
"Kamu tahu Ica kan, anak IPA 1?"
Tentu tahu! Ica itu tokoh sentral drama remaja kita: mantan Marvel, mantan Maliq, mantan Risan dan sekarang calon mantan seseorang lagi.
"Awalnya aku dijodohin sama Ica oleh Dian, eh tahu-tahu Ali juga masuk daftar jodoh…"
Duh, ini cinta segitiga hasil matchmaking tak bertanggung jawab!
Baru mau nanggepin, pintu rumah dibuka.
Dian dan Ali datang.
Dian terlihat marah, dan Ali bawa… sesuatu dibungkus kertas kayu. Entah itu pigura atau senjata pemusnah cinta massal.
Aku panik. Ini rumahku, bukan panggung debat cinta. Kalau sampai ribut, ibu bisa blacklist semua dari rumah ini. Maka otak langsung nyari solusi tercepat ala rapat darurat:
"Kita pindah lokasi! Ke rumah Erfin!"
Karena rumah Prita kejauhan, dan rumah Erfin... ya, cukup luas untuk konferensi meja bundar.
Sampai di rumah Erfin, dia menyambut dengan muka panik.
"Ada apa ini? Kok kayak demo massa?"
"Tenang, Fin. Kita cuma mau ngobrol... dikit."
Setelah duduk, aku langsung buka rapat.
"Oke guys, kita gak boleh emosi. Kalau ada yang naik darah, kita bubar!"
Mereka semua angguk... termasuk Erfin yang sepertinya masih belum sadar dia tuan rumah acara.
Satu per satu cerita mulai keluar.
Ternyata benar:
• Dian jodohin Ica ke Fian.
• Eh, masuk Ali.
• Ica-nya nurut aja karena... ya, Dian tuh Sufi Cinta, kayak punya kekuatan spiritual jodoh.
• Fian ciut datang kepadaku karena dia tahu Dian adalah sahabatku selain itu Fian takut berselisih dengan Dian karena bagaimanapun juga Dian adalah bagian dari Lebah sama sepertiku.
Ali mulai emosi, nunjuk-nunjuk Fian kayak lagi ikut debat capres. Aku langsung jadi wasit:
"Stop! Gak boleh emosi!"
Akhirnya aku lempar ide jenius:
"Kenapa nggak kita panggil aja Ica? Biar dia yang milih sendiri!"
Semua setuju.
Aku pinjam HP Dian, telepon Ica.
"Ica, bisa ke rumah Erfin? Kita perlu kamu... demi kemaslahatan umat."
Tapi... siapa yang jemput?
"Erfin."
"Palang ketempoan, Engkok!" [Mampus aku yang enak]
Sorry Fin, kamu masuk tim logistik sekarang.
Beberapa menit kemudian Ica datang, ekspresinya kayak peserta ujian matematika nasional.
Kami duduk melingkar, formasi ritual pilihan jodoh dimulai.
Aku buka forum:
"Oke Ica, kamu dengar ceritanya. Sekarang tinggal kamu yang pilih."
Ali tiba-tiba angkat tangan,
"Tunggu! Aku mau kasih ini dulu."
Dia serahkan benda misterius itu ke Ica.
Dibuka...
Ternyata lukisan wajah Ica.
Yang lukis? Ali.
Yang baper? Semua.
Setelah semua tenang...
"Ayo Ica, pilih. Gak usah ragu. Kita semua siap menerima."
Ica diam... lalu berkata seperti kontestan reality show:
"Aku memilih… Fian."
Boom.
Fian senyum malu-malu. Ali kecewa, tapi pasrah. Dian? Mukanya seperti habis ditolak beasiswa.
Setelah itu kami semua pulang.
Adzan Magrib berkumandang seakan berkata:
"Cinta boleh ribet, tapi salat tetap wajib."
Aku berjalan pulang sambil berpikir:
Kenapa aku bisa-bisanya jadi penengah cinta-cintaan begini? Bahkan lebih dramatis dari sinetron Indosiar. Dan yang paling lucu dan mungkin kalian tidak peduli... aku belum sempat tidur siang.