Semua kekacauan ini dimulai dari bisikan maut Kharis, sang motivator dadakan di tongkrongan.
"Di, ikut seminar kewirausahaan, yuk! Biar jadi juragan di usia muda!"
katanya dengan mata berapi-api seolah sudah melihat tumpukan uang di depan mata. Adi, yang otaknya gampang tergiur dengan kata "berpenghasilan", langsung mengangguk. Seketika itu juga, ia lupa daratan, lupa lautan, dan yang paling parah, lupa janji sama Viona untuk menggarap proyek Ekstra Artistik.
"Tenang, paling jam 4 sore udah di sekolah lagi kok. Tunggu aja di kelas,"
katanya enteng lewat SMS, seolah proyek pementasan itu cuma selevel menggambar pemandangan gunung.
Padahal, ada setumpuk gambar yang harus dikejar tayang. Viona sendiri sebenarnya buta soal artistik. Motif utamanya masuk tim ini adalah 99% karena Adi, dan 1% sisanya... ya karena Adi juga.
Maka berangkatlah Adi bersama Kharis dan gerombolan Lebah lainnya ke sebuah hotel di Jember. Seminar yang digembar-gemborkan Kharis sebagai jalan ninja menjadi kaya raya itu ternyata... seminar MLM. Lengkap dengan presentasi penuh tepuk tangan membahana dan janji-janji "passive income" yang lebih gaib dari sinyal internet di desa.
Pukul 7 malam, Adi tiba di rumah dengan status "tertipu" dan "lupa janji". Setelah mandi dan nyaris terlelap di sofa ruang tamu, sebuah notifikasi mental akhirnya muncul di otaknya yang lelah: VIONA!
Dengan kecepatan kilat, Adi menyambar kunci motor Supra kesayangannya dan melesat ke sekolah. Suasana sudah gelap gulita, hanya menyisakan lampu pos satpam dan beberapa siswa yang mungkin juga lupa pulang.
"Pak, anak Artistik masih di ruangan?" tanya Adi dengan napas tersengal.
"Lho, sudah dari magrib tadi bubarnya, Mas," jawab Pak Satpam santai.
Jantung Adi serasa jatuh ke perut. Ia menyusuri koridor sekolah yang remang, dan benar saja. Di depan kelas IPA 3, sesosok perempuan berdiri mematung. Bukan lagi sebagai Viona, tapi sebagai monumen kekesalan. Wajahnya lebih dingin dari es teh di kantin. Adi, dengan jurus cengengesan andalannya, hanya bisa menyodorkan senyum dan permintaan maaf yang suaranya nyaris ditelan angin malam. Viona? Tetap mode patung.
"Ayo pulang,"
hanya itu yang keluar dari bibirnya. Datar.
Di atas motor, keheningan di antara mereka lebih mencekam daripada film horor. Otak Adi berputar kencang mencari cara menebus dosa. Tiba-tiba, ia teringat sebuah harta karun di dalam tasnya: Kaset Platinum Hits milik Dian yang belum dikembalikan. Tepat di stasiun Kalisat, motor Supra itu berhenti mendadak.
"Bawa Walkman?" tanya Adi, memecah keheningan.
Viona, masih dengan bibir cemberut, mengeluarkan Walkman dari sakunya. "Ada apa?"
Tanpa banyak kata, Adi memasukkan kaset itu. Satu earphone untuknya, satu lagi untuk Viona. Mereka kembali melaju, namun kali ini dengan sebuah soundtrack.
Adi tidak memilih jalan pulang yang biasa. Ia sengaja memutar, melewati jalanan pedesaan yang sunyi dan masuk ke desa Curah Lembu. Malam itu, semesta sepertinya berkonspirasi untuk menolongnya. Bulan purnama bersinar begitu terang, menampakkan siluet perbukitan dan tebing yang megah. Gemericik air sungai menjadi musik latar alami yang menenangkan.
Adi kembali menghentikan motornya, membiarkan mereka berdua menikmati momen itu. Dan entah takdir atau memang si kaset yang peka, lagu yang terputar selanjutnya adalah "First Love" dari Utada Hikaru.
Magis. Melodi itu seakan menjadi soundtrack permintaan maaf Adi yang tak terucap. Viona yang tadinya kaku, perlahan mulai rileks. Kecewa karena seminar MLM dan marah karena menunggu berjam-jam seakan larut dalam alunan musik dan semilir angin malam.
Di bawah tatapan bulan purnama Curah Lembu, diiringi lagu legendaris itu, sebuah senyuman akhirnya merekah di wajah Viona. Malam yang dimulai dengan penipuan dan kemarahan, ditutup dengan kenangan manis yang mungkin tak akan pernah mereka lupakan.